Jakarta – Beberapa pekan lalu, Facebook melakukan IPO meski mengabaikan penilaian ‘negatif’ pada prospek bisnisnya. Namun, siapa sangka, jejaring sosial ini ternyata menyabotase arti manusia.
Melalui sabotase mengenai arti menjadi manusia, Facebook mencuri kepolosan hidup dari batin manusia. Profesor Ilmu Sosial dan Teknologi Sherry Turkle di Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengakui adanya ‘pergeseran’ dari dunia analog di mana identitas pribadi manusia diimplementasikan ke dalam sebuah dunia digital. Sehingga pengertian dan citra diri sangat terkait kehadiran di media sosial itu.
Namun, Turkle memperingatkan, gencarnya ‘berteman’ di Facebook merupakan ‘fantasi yang menggoda’ yang melemahkan manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Di media sosial saat ini, kesendirian manusia telah digantikan update online terus-menerus yang jelas melemahkan rasa pada diri sendiri dan kemampuan menciptakan persahabatan sejati.
Pergeseran dari pribadi menjadi miliki publik disebut ‘narsisme digital’. Di balik tabir komunitarian media sosial, orang jatuh cinta pada dirinya sendiri. Sayangnya, ini merupakan kisah cinta yang sangat sedih.
Karena, makin sering orang menyiarkan dirinya sendiri, ia akan menjadi makin kosong. Makin kosong seseorang, makin besar keinginannya untuk menyiarkan dirinya sendiri. Hal inilah yang membuat orang berharap lebih pada teknologi dibanding lainnya.
Dalam kasus ini, Facebook tak sendirian, fantasi menggiurkan dari masyarakat digital radikal transparan ini bisa diperoleh di Twitter
dan jejaring sosial berbasis lokasi. Hal yang tampak jelas, Facebook menghancurkan privasi manusia sebagai individu. Parahnya lagi, hal ini juga terjadi pada anak-anak yang tak segan mengungkap segala sesuatu mengenai dirinya pada ribuan ‘teman’ di Facebook.
Menurut peneliti Miller dari University of Michigan, yang mendasarkan studinya pada empat ribu anak, jejaring sosial menciptakan ‘normalitas’ mengenai sebuah dunia di mana ‘hal pribadi menjadi milik publik’. “Anak-anak tak akan pernah tahu dunia tanpa paparan media sosial. Hal yang kurang dimiliki dunia adalah harapan privasi yang berarti bagi seluruh masyarakat,” ungkapnya.
Kata lainnya, orang sedang menciptakan dunia di mana pengertian pada identitas sendiri didefinisikan pada bagaimana orang lain berpendapat mengenai dirinya. Media sosial membuat manusia kehilangan hal paling berharga dari dirinya sendiri, yakni rasa pada diri sendiri.
Gadget yang selalu menyala dan terhubung dunia maya membuat manusia hidup di depan umum di jaringan global radikal transparan yang akan ‘diberi makan’ 50 miliar gadget cerdas yang ditenteng mayoritas orang di planet ini.
Psikolog terkemuka Philip Zimbardo dan Nikita Duncan mengungkap, media sosial sama adiktifnya dengan game dan porno. “Narsisme digital merupakan narkotika,” kata mereka.
Dipenjarakan dalam gelembung delusi media sosial, Facebook mengaburkan dunia menjadi aliran referensi diri sendiri dari update langsung mengenai apa yang kita lakukan setiap saat. Jadi apa yang harus dilakukan?
Sudah waktunya bangun dari kebenaran mengenai media sosial. Jejaring sosial seperti Facebook berhasil mengubah manusia menjadi produk di mana satu-satunya nilai ekonomi adalah data pribadi orang itu sendiri.
Seperti kecanduan lain, manusia perlu mengenali realitas yang merusak. Facebook masuk layanan gratis karena yang ia dijual adalah data paling intim seseorang pada pengiklan. Berhenti menggunakan Facebook saja masih belum cukup.
Solusi mengatasi narsisme digital hanya bisa dilakukan rezim baru sensor diri yang ketat. Bagi banyak orang tentunya yang sudah kecanduan menyiarkan dirinya sendiri, hal ini tentunya akan sama sulitnya seperti berhenti merokok atau melihat film porno atau bermain game. Namun ingat, makin sedikit yang kita umbar di media sosial, makin misterius diri kita dan ini akan sangat menarik bagi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar